source: edudemic.com | via: google.com |
"Udah kerja gak usah terlalu milih-milih, yang penting kerja", kata ibu saya.
Sudah sekitar tiga bulan saya nganggur setelah resign dari pekerjaan sebelumnya. Mencari pekerjaan memang tak mudah, apalagi di ibukota yang notabene dihuni terlalu banyak manusia. Hal itu bisa dilihat bila anda memiliki akun di situs pencari bakat tenaga kerja bernama Jobstreet. Saya ambil contoh Jobstreet karena situs ini yang memiliki fitur untuk melihat berapa jumlah pesaing kita ketika melamar di satu lowongan. Dari puluhan lowongan yang saya lihat, yang mana belasan diantaranya saya lamar, saya memiliki rival rata-rata 90 orang untuk satu lowongan. Saya yakin dari jumlah rata-rata rival tersebut ada beberapa orang yang melamar di beberapa tempat dengan kemiripan posisi, sama seperti saya. Dan bukan tidak mungkin beberapa rival di lowongan yang saya lamar itu menjadi rival saya juga di lowongan lain yang saya lamar. Sebenarnya saya tidak cukup yakin akan ada perusahaan yang tertarik dengan saya bila melihat latar belakang pendidikan. Jelas saya pesimis, saya melamar sebagai jurnalis tapi bukan dengan latar belakang pendidikan jurnalistik ataupun komunikasi. Hanya berbekal pengalaman selama beberapa tahun menjadi kontributor di sebuah webzine musik non-mainstream, itupun lebih ke arah fotografer karena webzine ini lebih memberatkan pada foto ketimbang artikel.
Salah satu yang mengakibatkan sulitnya saya mendapat pekerjaan baru mungkin karena saya memilih pekerjaan yang menurut saya disanalah passion saya, pekerjaan yang dapat saya jalani dengan enjoy. Padahal pada kenyataannya semua pekerjaan pasti ada pressure dan bukan berarti pekerjaan yang sesuai dengan passion itu menyenangkan. Namun pekerjaan yang dijalani dengan passion akan membuat kita lebih semangat. Semangat membuat pressure dalam pekerjaan tidak terlalu terasa. Begitu teorinya saya. Tapi, lowongan pekerjaan yang sesuai dengan passion saya kebanyakan mencari orang lulusan jurusan jurnalistik atau komunikasi, seperti yang sudah saya bilang sebelumnya. Ya saya sih tetap keras kepala, saya lamar aja, mungkin aja ada HRD yang khilaf buat manggil saya interview.
Hal lainnya yang membuat saya sulit dapat pekerjaan baru adalah idealisme saya yang (sok) tinggi. Saya menolak untuk bekerja di perusahaan yang dimiliki oleh politikus atau orang partai atau orang pemerintahan. Sebenarnya bila saya mengesampingkan hal ini saya bisa saja langsung bekerja di salah satu perusahaan milik pengusaha yang baru-baru ini berkecimpung di partai politik. Namun apa daya, ego Taurus terlalu besar. Bukan bermaksud sombong atau sok, tapi namanya prinsip ya harus dipegang. Pernah ada yang bilang: "susah idup lo jadi orang idealis di ibukota". Kalimat itu ada benarnya juga bila dipikir, sayangnya saya malas untuk memikirkannya.
"Terus sekarang lo gak kerja, Ta?" Belum. Masalah? Yang penting saya kan sudah usaha dengan ngelamar di beberapa perusahaan dengan berbagai posisi, bahkan ada yang satu perusahaan saya kirim tiga surat lamaran dengan posisi yang berbeda. Saya ngelamar via situs-situs pencari bakat tenaga kerja, saya baca-baca lowongan di koran dan kirim surat lamaran bila ada yang menarik, saya cari info lowongan di milis dan grup-grup jejaring sosial. Yang penting saya usaha dan berdoa. Ora et Labora, berdoa dan berusaha. Selanjutnya biar Tuhan yang campur tangan, biar kuasaNya yang bekerja. Tinggal saya yang harus selalu bersyukur atas apa yang saya miliki hari ini, atas apa yang terjadi hari ini. Berimanlah, Tuhan itu baik, Dia selalu merencanakan yang baik bagi umat-umatNya.