Dec 3, 2014

Senja Tertawa

Dia. Termenung Dia berpangku tangan. Menit demi menit terus bergulir lemah seiring Dia membalik lembar-lembar lama. Tidak ada kopi yang menemani sore ini. Hanya secangkir teh, kursi panjang di teras depan, angin semilir, debur ombak, dan rangkaian cerita lalu.
Desember. Sudah beberapa tahun terakhir hujan selalu membelai Desember. Namun entah mengapa tidak hari ini. Matahari terlihat, sesekali bersembunyi di balik awan. Seolah mengerti bahwa Dia butuh senja.
Angin. Tidak ada yang lebih membuai dari hembusan angin laut. Tergesa memaksa ranting kelapa berderak. Berpadu dengan lantunan manja ombak yang terpecah. Dia mereguk tehnya perlahan, seiring dengan alunan kisah lama.
Teh. Sama dengan kopi, Dia lebih suka teh apa adanya. Tanpa pemanis, seperti Dia menghirup kehidupan. Dia percaya pemanis hanya membawa sakit kelak. Dia memang lebih menghargai rasa asli dari sesuatu. Dia biarkan teh itu membasahi lambungnya, seraya Dia nikmati senja yang mulai memancarkan pesona.
Senja. Bagi sebagian orang senja adalah hal yang sakral. Penuh misteri juga anggun. Namun Dia lebih mencintai pagi. Bagi Dia senja adalah akhir, dan pagi adalah awal. Terkadang, Dia memang sulit menerima akhir.

Dia mengerti senja akan tertawa melihat seorang penikmat fajar yang sedang terbuai pesona sore. Namun Dia tahu, senja takkan pernah mengerti apa yang bergulir di dalam kepalanya. Takkan pernah mengerti apa yang berhembus di dalam hatinya. Senja juga tak tahu, bahwa Dia punya jutaan hari lagi untuk menghirup kemegahan fajar di ufuk timur.