Dia. Termenung Dia berpangku tangan. Menit demi
menit terus bergulir lemah seiring Dia membalik lembar-lembar lama. Tidak ada
kopi yang menemani sore ini. Hanya secangkir teh, kursi panjang di teras depan,
angin semilir, debur ombak, dan rangkaian cerita lalu.
Desember. Sudah beberapa tahun terakhir hujan
selalu membelai Desember. Namun entah mengapa tidak hari ini. Matahari
terlihat, sesekali bersembunyi di balik awan. Seolah mengerti bahwa Dia butuh
senja.
Angin. Tidak ada yang lebih membuai dari hembusan
angin laut. Tergesa memaksa ranting kelapa berderak. Berpadu dengan lantunan
manja ombak yang terpecah. Dia mereguk tehnya perlahan, seiring dengan alunan
kisah lama.
Teh. Sama dengan kopi, Dia lebih suka teh apa
adanya. Tanpa pemanis, seperti Dia menghirup kehidupan. Dia percaya pemanis
hanya membawa sakit kelak. Dia memang lebih menghargai rasa asli dari sesuatu.
Dia biarkan teh itu membasahi lambungnya, seraya Dia nikmati senja yang mulai
memancarkan pesona.
Senja. Bagi sebagian orang senja adalah hal yang
sakral. Penuh misteri juga anggun. Namun Dia lebih mencintai pagi. Bagi Dia
senja adalah akhir, dan pagi adalah awal. Terkadang, Dia memang sulit menerima
akhir.
Dia mengerti senja akan tertawa melihat seorang
penikmat fajar yang sedang terbuai pesona sore. Namun Dia tahu, senja takkan
pernah mengerti apa yang bergulir di dalam kepalanya. Takkan pernah mengerti
apa yang berhembus di dalam hatinya. Senja juga tak tahu, bahwa Dia punya
jutaan hari lagi untuk menghirup kemegahan fajar di ufuk timur.